Senin, 11 April 2022

HIJRAH || CERPEN NUR INDAH SUTRIYAH

Gambar:Pixabay.com

HIJRAH

Empat bulan yang lalu, kita sedekat kancing dan baju. Hubungan yang awalnya sekadar tahu, berubah menjadi sangat tahu. Awalnya hanya chattingan biasa. Berhias canda tawa dan cerita. Hari demi hari kian menderu, derap langkah kaki kita sampai di titik mengisi ruang kosong yang sepertinya pernah gosong ditinggal sunyi.

Setiap hari, bahkan setiap waktu. Kita selalu dipertemukan dalam keadaan ceria, candu, dan rindu. Sehari saja tidak menyapa, rasanya seperti seminggu. Hidup seakan keruh. Raga kian rubuh bila tak melihat tulisan putih yang tampah di layar biru.

            “Mas, apa kabar? Gimana keadaan kamu hari ini? Sudah lebih enakan nggak?” Tanyaku penasaran. Masih setia menunggu. Waktu sudah berjalan 30 menit, tapi dia masih belum balas pesan wa dariku. Dengan sabar aku masih tetap menunggu, kini waktu sudah berjalan satu jam. Masih tetap sama, notifikasi  balasan wa darinya belum muncul di layar ponselku.

            “Huft sepertinya Mas lagi sibuk. Ah, sudahlah. Mungkin dia sudah baikan.” Pikirku untuk mengusir cemas yang kian menggerutu memenuhi ubun-ubunku.

Aku lanjutkam aktifitasku seperti biasa, membalas chat dari customer setiaku. Ya, kebetulan aku lagi menekuni bisnis olshopku yang sudah berjalan lima tahun terakhir ini. Saat aku balas chat customer, tiba-tiba hp ku bergetar dengan notif nama terpampang Imran Pelangi Cinta. Oohh, tentu saja tidak aku abaikan. Sat set langsung kubuka wa darinya.

            “Hmm, maaf dek lama balasnya. Mas lagi sibuk banget. Seharian ini, Mas lagi interview sepuluh anak untuk dijadiin promotor Oppo.” Balasnya dengan disertai laporan video yang masuk ke HPku.

Sudah menjadi ciri khasnya, jika dia lama balas wa dariku karena ada lasan tertentu, so pasti disertai video.

            “Eh, iya mas nggak apa. Tak kira sengaja nggak balas wa dari aku. Dari satu jam lalu loh, nyepam nggak di bales-bales. Mungkin udah ditimbun longsor dengan puluhan chat dari jari-jari manis orang lain. Entah itu dari user atau dari selir-selir mas yang lain. Hm, entahlah…” kataku dengan mengirim emoji anak dengan bibir mecucu.

            “Jangan suudzon dulu sayangku, kan kamu udah tahu kalau namamu sudah tersemat di hp ku. Jadi siapapun yang wa aku, pasti namamu dan nama bidadari syurgaku ada di atas sendiri. Udah aku sediakan ruang khusus buat kamu dan dia.” Balasnya dengan menyertakan emoji pria yang mencium gadis kecil berbando hati.

            “Hahaha bisa aja, mas. Btw udah makan belum?” tanyaku.

            “Kebablas. Belum sama sekali. Sekarang dimana?”

            “Looh, kok belum makan? Semisal ndak sempat beli langsung, selirnya mas kan banyak di BRC, tinggal titip sama mereka. Beres kan?

“Mosok yahhh.. ngenteni aku merono, terus didulang, bar gelem maem” kataku dalam bahasa Jawa.

            “Hahaha..harusnya sih gitu, dek. Disuapin, samean datang kesini.”

            “Emmohh, aku udah di rumah ini. Oh iya, dari video yang tadi dikirim keliatan banget kalau muka mas kusut, lungset kayak baju baru keluar dari lemari yang nggak pernah disetrika dua tahun. Muka-muka lusuh, capek, kebanyakan yang dipikir, kurang tidur, dasar muka bantal! Ahayyy…yes yes yes, tebakan aku bener 100%.

            “Wkwkwkwk, kamu itu bisa aja buat aku terkekeh kayak gini. Kamu lagi apa?”

            “ Aku lagi mikirin Sin Cos Tangen. Kepanjangan dari deeeeekkkk…sini ke kosan, aku kangen. Wkwkwkwkwk…garing yah, mas nggak lucu.”

            Balasan stiker anak kecil dengan mulut tertawa dan mencium.

***

Sudah dua hari ini, entah kemana. Setelah chat tertanggal 23 Maret 2022 lalu, sampai sekarang belum ada kabar darinya. Dia sudah lagi tidak menyapaku dengan perhatiaanya yang cuma hanya sekadar canda tawa, lewat emoji lucu yang kadang-kadang nggak nyambung. Cara dia membalas wa dariku, memperlakukanku walau hanya lewat virtual saja.

Dua hari sudah, full dia menghilang bagai ditelan bumi. “Hmm kamu kemana sih, mas sudah dua hari ini tiada kabar. Ngilang gitu aja. Bukannya kita sudah berjanji, kalau sampai kapan pun kita tidak akan ngerasa asing. Sekalipun warna pelangi memudar karena biasan sinar mentari.” Kataku sebelum memejamkan kedua netraku.

Tepat jam 23.00 WIB aku terbangun. Jam yang biasanya digunakan kita berdua untuk bercerita melalui video call. Kuambil HP dan kulihat. Masih tetap sama, tak ada kabar darinya dan video call.

Aku pun melanjutkan petualanganku bersama lautan silicon-silicon empuk yang berada di ruang rebah bernuansa batik floral berwarna pink muda. Aih, sungguh nyaman sekali. Tempat yang amat cocok untuk melepas penat dari kegiatan yang menyunggihku.

Malam itu, tepat di sepertiga malam. Tiba-tiba dia hadir dalam ufuk mimpiku. Terlihat jelas sekali, dia datang ke rumah lewat jendela kamarku. Aku pun kaget. Karena selama ini aku tidak pernah memimpikannya. Kemudian dia berbisik di telinga kiriku.

            “Dek …” katanya sembari memelukku.

            Sontak aku kaget dan terbangun “Siapa?”  kataku bingung. Lohh, samean mas?” Kuulurkan tangan, lalu mengusap rambutnya.

            “Iya, Mas. Kenapa? Ada apa? Tumben ke sini. Samean kenapa, mas?”

Disitu suasana kaku, muka lusuh tanpa ada suara beradu. Tak ada jawaban dari dirinya. Hanya bungkam. Yang ada cuma perheletan tangan yang memelukku penuh erat. Ya, makin erat tersimpul di pinggangku dengan kelopak kepala bersandar di belakang punggungku.

            “Dek ….” Panggilnya lirih sembari melendingkan kecupan hangat di keningku.

            “Iya, mas. Sudah, sudah ini sudah larut malam. Besok saja kalau mau cerita” kataku di penghujung mimpiku.

Aku terbangun dari mimpi yang sudah melelapkan tidurku. Ya Allah, kenapa aku bisa mimpi seperti ini? Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan, mas? Segera kuambil hp, membuka wa dan chat mas Imran. Menceritakan semua mimpiku tadi tanpa tertinggal satu bagianpun.

Tak butuh waktu lama, selang lima menit dia membalas wa dariku.

            “Engge, dek. Dek, mas ngapunten ing kang katah ngge?” katanya dengan bahasa Jawa.

            “Loh, kenapa mas? Kok tiba-tiba minta maaf gini. Kata-kata samean itu bikin aku penasaran dan takut.” Kataku dengan segudang tanda tanya beralaskan ketakutan.

            “Nggak apa, dek. Selama ini, mas banyak salah sama adek. Mas mohon, maafin semua perbuatan yang pernah mas lakuin sama kamu, ya? Mas ngerasa bersalah, ngerasa berdosa sama adek. Masih teringat jelas, apa yang udah perbuat mas sama kamu.”

            “Samean kenapa tiba-tiba bilang kayak gini? Mas nggak ada salah sama aku.”

“Ehm … kamu inget kejadian di kosan waktu itu? Aku dengan sengaja dan memaksamu untuk membenamkan birahiku. Inget nggak?”

Kejadian itu sungguh tidak akan pernah kulupa. Waktu itu kamu memang benar-benar gila. Saat ku berdiri di samping jendela untuk membuang tisu, tiba-tiba kau datang. Lalu mendekat. Kedua tanganmu merangkulku dari belakang, tanganmu begitu keras melingkar di bahu dan perutku. Kau benamkan wajahmu ditengkuk leherku lalu menghisapnya pelan dan itu membuatku bergetar. Dibaliknya tubuhku kemudian didongakkan daguku agar menatap wajahnya. Aku pun membuka mataku pelan tak sadar kalau wajah mas Imran begitu dekat dengan wajahku. Mungkin hanya berjarak satu inci.

“Aku sangat mengingnkanmu. Apalagi dengan bibirmu yang merah darah itu. Ranum sekali untuk dilewatkan sekejap saja.” Katanya padaku.

Dengan sergap dia menyambar bibirku dengan kasar. Sontak mataku terbuka lebar karena terlalu kaget dengan yang dilakukan mas Imran padaku. Namun perlahan mata itu terpejam, ciuman pun semakin terasa lembut. Digigitnya bibir bawahku, membuat aku membuka mulutku dan lidah mas Imran mulai menyusup di antara kedua bibirku. Kemudian dilingkarkan kedua tanganku di lehernya. Diangkatnya tubuhku agar kedua kakiku berdiri sejajar di atas kedua kakinya.

            Sesaat mas Imran melepaskan ciumannya untuk sesekali bernafas. Lalu dia kembali melumat bibirku, perlahan tapi pasti ciuman itu turun ke leherku. Membuatku mendesah lirih. Saat kawah candra di muka mulai mendidih, mas Imran semakin menggila. Dibantingnya tubuhku ke atas ranjang sampai aku terpental. Dilancarkan aksinya sekali lagi hingga buatku tertindih tak bisa berkutik lagi.

            “Lepaskan aku. Mas Imran jahat!” kataku saat bibirnya mulai memenuhi bibirku.

Dilumatnya kembali bibirku lebih ganas hingga terasa perih tersisa. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya aksi itu selesai. Aku pun menangis deras. Kenapa mas Imran tega padaku. Apa salahku?

            “Sungguh aku tidak bisa mengontrol. Apalagi saat kau diam dengan bibirmu yang merah membasah. Aiihh…buat otakku nggak karuan. Sudah, sudah jangan nangis gini. Kalau kayak gini, aku jadi ngerasa bersalah.” Ditarik kepalaku dengan lembut kemudian dibenamkankan di dadanya yang lebar.

            “Aku sayang kamu, dek. Amat sayang.” Katanya pelan sembari mengusap air mata yang menganak sungai di pipiku. Tidak sampai disitu, ketika aku sudah mulai luluh dia kembali mencium bibirku. Kali ini sangat lembut. Mungkin dia tahu kalau bibirku sudah mulai menipis. Tapi memang itu benar. Sesaat setelah ciuman itu selesai, aku merasa ada yang beda dengan tektur bibirku.

“Oh, kejadian itu, udah aku maafin. Dalam hal ini, aku yang salah karena aku terlalu bodoh untuk menerima ciuman dari bibirmu. Meskipun ada penolakan sedikit. Tapi, mas tenang saja aku udah maafin kok.”

            Mengirimkan video, yang di dalamnya terdapat orang melantunkan ayat-ayat suci al-quran.

            “Aku di rumahnya guru ngajiku dari semalam. Belum tidur sama sekali. Udah lama tidak kesini, tiba-tiba kemarin malam aku pengen kesini. Imran yang dulu, nggak seperti yang dulu. Emylio yang dulu kelihatan keruh tak sebening dulu lagi. Seketika aku nangis, nangis, dan nangis.” Katanya disertai emoji menangis.

            “Samean hijrah, mas?” celetuk aku, karena aku tahu kalau dilihat dari gelagat chatnya dia bakal hijrah dan kembali ke jalan yang benar.

            “Dua hari ini aku gelisah. Aku ngerasa, kemelut dalam hidupku sudah mulai berkecamuk. Asap yang menyembul dari keagungan masalah sudah merata memenuhi penglihatanku. Sesekali membuat dadaku sesak, sulit untuk bernapas. Aku bingung, hal apa yang harus aku lakukan. Selain hijrah dan kembali ke jaln-Nya.

Akhirnya aku putuskan ke rumah ustadz ngajiku sewaktu aku kecil dulu. Akhirnya maghma panas yang udah bikin kepala dan dadaku panas, aku tumpahkan ke lahan kecil penentram jiwa. Aku tumpahkan segala isinya dengan segala pecahan-pecahan dosa merah darah, yang mengalir deras ditubuhku.” Paparnya.

            “Mas, samean lagi banyak masalah, ya? Maaf aku sudah mengusik, mas.” Kataku dengan tak sadar menggulirkan bulir-bulir bening dari pelupuk mata.

            “Iya. Maafin mas, dek. Mas banyak salah. Kamu orang baik, baik banget malah. Sering membantuku dengan sejuta canda tawamu dan sedikit tunjangan dari dompetmu. Bantu doa ya, dek. Doakan mas agar hari-hari selanjutnya lebih berwarna. Jangan lupa, doakan mas. Agar mas selalu sehat dan panjang umur. Biar mas bisa memperbaiki semuanya.” Katanya sembari menangis.

            “Alhamdulillah. Hal ini lah yang aku tungu-tunggu dari seorang Reader Birunya Cinta. Aku senang, kalau mas bisa berubah kayak gini. Bisa kembali ke arah mata angin yang sesungguhnya. Mas jangan khawatir, aku sudah maafin semua kesalahan mas. Aku doakan semoga kedepannya kehidupan mas lebih berwarna dan semakin berkah. Aminnn…” jawabku dengan perasaan senang dan haru.

            “Terimakasih, dek. Aku sekarang sudah lega. Pertama, aku minta maaf ke kamu dulu, yang kedua nanti mau ke makam umi dana bah. Dan yang terakhir, aku akan ceritakan semua dosa-dosaku sama istriku. Semoga dia mau memaafkanku, menerima aku dengan segala kekuranganku.

            “Iya, mas. Semoga mbak bisa memafkan semua kesalahan, mas. Akhir cerita, apakah mas mau ninggalin aku?” kataku menegaskan sebelum akhir cerita dituntaskan.

            “Mas nggak akan pernah ninggalin kamu. Nggak akan pernah. Mas akan selalu ada di sini saat kamu butuh. Kita tetap sedia kala, Cuma ada batasan-batasan yang harus kita tunaikan demi kebaikan bersama. Begitu juga dengan yang lainya. Aku tidak akan memutuskan tali silaturahmi dengan siapapun. Apalagi dengan cewek sebaik kamu.” Katanya memelankan deru nafasku.

            “Terimakasih, mas. Semangat yah.” Kataku mengahiri pembicaraan kuncup pagi yang baru mekar di tengah alunan adzan subuh.

Akhirnya, keakraban yang terjalin selama empat bulan itu, sirna dihapus waktu. Katanya dia ingin kembali wangi dan menjadi biksu berkepala botak, yang bermanfaat bagi bianglala di kuilnya. Ya, Lima Tujuh namanya. Bukan hanya itu, dia juga ingin menjadi suci sebening embun pagi yang menetes di pagi hari, untuk selir-selir kehidupannya di masa mendatang. Menjadi pondasi kokoh seperti cagak di dalam rumahnya, menjadi panutan untuk bidadari syurga dan tunas-tunasnya.

_______________________________________________

Biodata

Nur Indah Sutriyah lahir di kota Pasuruan pada tanggal 08 November 1992. Merupakan salah satu alumnus Universitas Wiranegara Pasuruan. Ia menyukai karya sastra, terutama puisi dan prosa.  Saat ini ia sedang tergabung di grup Competer Indonesia yang didirikan oleh salah satu sastrawan puisi, yaitu Muhammad Asqalani Eneste. Puisi-puisinya pernah dimuat di media Dermaga Sastra dan Riau Sastra.

 

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.

Comments


EmoticonEmoticon