Kamis, 04 Maret 2021

MARIO, TOLONG JANGAN PERKOSA SAYA

(Mengulas salah satu puisi Mario Lawi dalam kolom Kompas 2012).

Oleh: Yohan Mataubana.

“Untuk kesekian kalinya pemerkosaan harus terjadi / Kamu orangnya/ Datanglah/ makan dan minumlah/ inilah  perjamuan kata".

Barangkali kalian pernah membaca puisi-puisi seorang penyair muda kontemporer  Mario Lawi di majalah Tempo, Kompas, dan media-media lainnya. Saya melihat karya-karyanya unik, padat makna  dan tidak mudah untuk dimengerti. Pada suatu kesempatan seorang teman mengatakan bahwa menulis puisi seperti penyair  Mario terlalu  egois( menulis untuk dirinya sendiri) sebab sulit dimengerti.

Lalu saya teringat akan diskusi sederhana bersama penyair Feliks Nesi. Saat itu beliau berkunjung ke Seminari Lalian tempat dulu benih sastra diberikan kepada saya. Baginya sastra secara khusus puisi, "untuk menemukan maknanya seorang pembaca harus membaca karya itu secara berulang-ulang, tidak hanya sekali baca lalu coba maknai kata-perkata dan berusaha untuk menerima puisi itu ke dalam dirinya artinya maknai puisi itu sesuai dengan isi hatimu”. Karena puisi adalah bahasa jiwa di mana setiap orang menganggap puisi sebagai konsolasi dan desolasi hidupnya (reflektif).

  Sebagai pencinta sastra, saya kagum dengan perkataan Bung Feliks_seorang penyair  asal Bitauni yang pada tahun 2018 yang lalu berhasil memenangkan sayembara sastra lewat novelnya yang berjudul: Orang –Orang Oetimu di tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh dewan seni dan budaya DKIJ.

Berangkat dari perkataan Feliks dan terlepas dari kesuksesannya, saya pun mencoba, membaca sebuah puisi yang ditulis oleh Mario Lawi dalam Koran kompas. Di sini saya ingin membuktikan bahwa puisi itu menantang, rumit kalau hanya  dibaca sekali tetapi kalau ditelaah secara baik puisi sangat kaya makna reflektif yang bisa kita petik untuk mematangkan logika berbahasa dan berpikir jika dibaca berulang-ulang dengan hati dan pikiran terbuka. 

Mungkin ini gila dan saya harap kalian tidak gila ketika puisi ini menjengkelkan atau cukup konyol dalam benak kalian. Tetapi dia akan memerkosa kalian dengan sejuta makna.

Ruang Tunggu  1 

Menahan godaanMU

Eva dan ular bersihadap

Kami mengelus-elus dada

Entahlah senyuman ular 

Ataukah kerling Eva 

Menggetarkan belulang

                                                           (Surabaya,2012)

Ketika membaca puisi di atas spontan ada rasa emosi, jengkel bahkan sampai ingin memaki. Siapa pun pasti tidak akan mengerti puisi semacam ini, tapi toh puisi yang tidak dipahami seperti ini masih saja  dipilih redaktur Koran Kompas sebagai karya sastra yang layak dipublikasikan. Mengapa puisi  seperti ini di publikasikan? makna apa yang mau kita petik. Mungkin  cukup membodohkan jika saya mengajak kalian untuk membaca dan menganalisis  kata perkata. Tapi disini pembuktian sastra dikuatkan, seperti apa yang dikatakan Felix Nesi.

Ada Apa dengan “Ruang Tunggu” 

Bait pertama puisi dikatakan “menahan godaanMU”. Di ruang tunggu dimana saja bisa jadi Mario sedang berusaha menahan godaan (cobaan) dari TUHAN hal itu terlihat dari peryataan kepemilikan “MU”huruf besar. Ketika saya membaca ayat kedua  dan ketiga, menyakinkan saya untuk semakin bertanya, cobaan berupa apa yang Tuhan berikan kepada  penulis. Kemudian jawaban itu jelas dikatakan  bahwa cobaan itu berupa wanita(Eva) dan ular yang mengidentikkan keinginan daging(bdk. kitab  kejadian). 

Pada bait ketiga ketika godaan itu datang dikatakan “kami mengelus- elus dada”cukup jelas dalam realitas, ketika kita melihat seorang perempuan yang seksi kebanyakan kita punya hasrat atau gairah untuk menyatakan “sesuatu”(boleh saya katakan Mario ini orangnya norma). Mungkin dalam dadanya tersimpan “sesuatu”dan saya yakin itu berkaitan dengan hati_perasaan cinta atau ingin memiliki gadis itu.

Berkaitan dengan persoalan hati banyak di antara kita jatuh dalam perasaan cinta kepada  seseorang (khusus) dari banyak hal bisa jadi saat pertemun pertama melihat senyumnya yang manis, bisa juga karena kedewasaannya, kesemokannya, stylenya dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan kekudusan dari orang itu pula. 

Saya amat yakin satu dari sekian pernyataan saya di atas, dilakukan Mario kala melihat perempuan di Surabaya (tempat ia mengalami tragedi ruang tunggu). Hal ini amat jelas dikatakan pada bait puisi keempat dan kelima. “senyuman “ dan “kerling”  dua kata ini mengambarkan bahwa penulis tertarik dengan dua hal tersebut. Namun saya mulai bertanya–tanya dalam batin saya , mengapa  senyuman ular dan  bukan senyuman eva? padahal eva  itu perempuan  yang juga adalah objek yang menarik hati penulis dan orang lain ( saya katakan orang lain karena penulis memakai trem “kami” yang berarti banyak orang dan banyak orang itu tidak tahu siapa).

Namun setelah saya membaca ulang dan menelaah apa sebetulnya yang mau dikatakan Mario di ruang tunggu itu. Apakah dia hanya menunggu atau ada sesuatu di balik kata “tunggu” itu untuk dia. Kembali saya membaca, lalu di sini saya menemukan bahwa  ada objek dibalik ruang tunggu yakni kerling Eva dan senyuman ular menjadi  sebuah perasaan “ingin”, bisa jadi Mario ingin mencium kerling perempuan itu, sehingga  perasaan itu “menggetarkan belulang”. Artinya bahwa cukup realistis perasaan manusia dikala menjumpai seseorang yang membuat perasaannya bergejolak yang berakibat terbawa perasaan haru dan bahkan punya niat untuk memiliki orang itu.  Untuk hal ini bukan Mario saja yang alami. Pernah teman saya juga mengalami hal serupa waktu masih SMA. Ketika melihat seorang perempuan ia jatuh cinta Pada senyum seorang wanita yang memiliki lesung pipi, dari perasaan itu menimbulkan banyak tragedi, ia mengaga di hadapan wanita itu, bahkan air liur pun meleleh dibiarkannya begitu (hhh cukup memalukan dan saya harap para pembaca sekalian tidak).

Ruang Tunggu di Masa Prapaskah

 Di ruang tunggu telah terjadi suatu tragedi iman antara wanita dan pria. Ruang tunggu ibarat taman Eden. Di mana  terdapat pergolakan batin manusia, kebahagiaan manusia, dan sekaligus kejatuhan manusia pada tragedi berdarah dosa.

Tentang ruang tunggu saya mau mengaitkan beberapa poin inti tentang  subjek (penulis) dan objek(Eva) : Laki-Laki menjadi seseorang yang kerap tertarik  pada wanita dari segi  kecantikan, sedangkan wanita  identik dengan penggoda dan satu hal yang paling menonjol yang mau di katakan Mario adalah hasrat laki – laki itu mendominasi  biologis.

Tiga poin inti  di atas menjadi catatan besar sebetulnya untuk kita di masa prapaskah dan paskah. Catatan refleksi  atas puisi Mario ini, sebenarnya ingin mengajarkan kepada kita  secara khusus kaum pria jangan muda untuk terperangkap dalam keindahan atau rayuan seorang wanita. Wanita adalah penerus hawa(orang yang menjadi asal kejatuhan dosa manusia), sedang kita adalah  adam ( orang yang bijak dan kuat). Maka kita sepatutnya  menjadi lelaki bijak, yang tak boleh  mudah jatuh  pada kenikmatan sesaat seperti Eva. Atau mungkin di antara kita ada yang mau terus dikungkung  hasrat pada wanita?.  

Di “Ruang Tunggu” masa ini, kita bisa kaitkan dengan situasi sekarang yakni masah Prapaskah, masa penantian sekaligus pertobatan, masa di mana kita mau membersihkan diri dan menyambut kedantangan sang Juruselamat, sama seperti Mario menanti seorang wanita di dalam puisi “Ruang Tunggu”. Mari kita sama-sama menyiapkan diri sambil mengadakan tobat sehingga ketika  menyambut kebangkitan TUHAN_KEMENANGAN YANG MENYERUPAI KEKAL. Demikian halnya seperti diri kita pula, bangkit dari keterpurukan iman, menyeruput darah dan air kehidupan dari TUHAN.

Akhirnya saya ingin menyampaikan apresiasi yang besar kepada Mario yang telah berani “memerkosa” saya dengan puisinya. Puisinya memang gila tetapi yang lebih gila dari puisi adalah dirinya, semoga dia hanya mampu memerkosa orang dengan puisinya(para pembaca jangan serius yah) tidak dengan berkelamin biologis(hh. Maafkan saya kaka Mario,sekedar wora buat para pembaca). Jika terjadi berkelamin biologis maka saya tidak tahu dosa keberapa yang  ia catat dalam sejarah hidupnya( hetttt, tapi bohong).  Dan  untuk kesekian kalinya saya katakan mohon maaf saya terlanjur jatuh cinta pada puisi di “Ruang Tunggu”. Saya berharap ada puisi lain, di ruangan lain, dengan situasi yang  lain.   Profisiat Mario si penyair gila. Saya senang  membaca puisimu.*

#catatan:tulisan ini hanya bersifat latihan bagi

penulis dalam mengulas karya sastra.

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.

Comments


EmoticonEmoticon