Kamis, 30 September 2021

Mimpi-Mimpi Mama Ada Padaku

||Cerpen||


Pada suatu malam, di sebuah gubuk di tengah perkampungan seorang wanita paruh baya masih terjaga. Ketika semua penghuni gubuk lainnya sudah larut dalam mimpi, ia masih sibuk bekerja. Jari-jemarinya begitu lihai melilit dan menarik benang yang saling bertautan dengan penuh hati-hati. Segelas kopi rasanya cukup menemaninya malam ini untuk menghilangkan kantuk. Sesekali wanita tiga anak itu meringis dalam diam. Dalam pikirannya ia harus melilit benang sebanyak-banyaknya agar esok dapat ia tenun. Yah, wanita itu merupakan seorang penenun, ia bekerja keras demi membiayai pendidikan ketiga anaknya. 


Namun di tengah kesibukannya tanpa ia sadari dari balik dinding pelupu yang hampir lapuk karena dimakan rayap, seorang anak gadis tengah menatap sendu dirinya. Yah, gadis itu bernama Ana, putri sulungnya. Ana tahu mamanya bekerja keras untuk menyekolahkannya. Apalagi setelah ayahnya sakit-sakitan mamanyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan juga biaya pendidikannya serta kedua adiknya, yang saat ini duduk di bangku SMP. 


Di bawah sinar lentera terlihat jelas ada guratan diwajah wanita paruh baya itu. Dalam hati Ana berharap suatu saat lelah mamanya dapat terbayar. Lalu Ana kembali terlelap dalam mimpi agar esok ada semangat dalam dirinya  untuk berjuang melalui hari-harinya.


Keesokan harinya sebelum mentari kembali bersinar, wanita itu sudah terjaga dan menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Meskipun kantong matanya sudah menghitam,  matanya selalu memancarkan semangat dan kasih sayang dengan senyuman secerah mentari pagi. 


Pagi itu seperti ada yang mengganjal dalam pikiran Ana, mengingat mamanya rela menenun sarung sepanjang hari  bahkan kadang hingga larut malam, membuat ia ingin mengutarakan niatnya. Beberapa saat setelah merenung di kamarnya, Ana memutuskan untuk menemui mamanya yang hendak menenun sarung. 


Ketika melihat Ana wanita itu terkejut. “Loh Ana, kamu bukannya sedang bersiap-siap ke Kampus?” Ia bertanya dengan wajah penasaran. “Jadwal kuliahmu hari ini kan jam tujuh lalu mengapa kamu masih bersantai-santai disini?" Ditodong dengan pertanyaan secara berturut-turut membuat Ana semakin bimbang untuk mengutarakan niatnya kepada mamanya. Ana dilema antara takut melihat kemarahan atau mungkin raut kecewa yang akan ditunjukan mamanya. Namun setelah beberapa menit merenung dengan sedikit keberanian Ana menyampaikan niatnya. “Mama, ada yang ingin Ana sampaikan.” Ujarnya lirih. “Katakan saja Ana” jawab wanita itu. “Begini mama, setelah Ana pikir,..” Ada jeda sejenak lalu Ana kembali melanjutkan kalimatnya “Ana ingin berhenti kuliah.” Setelah Ana menyelesaikan kalimatnya, wanita itu langsung terdiam. Senyum yang awalnya secerah mentari seketika redup.


Inilah yang Ana takutkan sejak awal. Setengah jam setelah Ana menyampaikan niatnya, mamanya masih saja diam tak bersuara. Ada raut kecewa yang terpancar bahkan saat ini  yang ada hanya raut datar tanpa ekspresi diwajah mamanya. Dari mata mamanya ada sorot luka yang tak dapat ditebak.  “Maafkan Ana, ma. Ana tadinya juga tidak ingin mengatakan hal ini, tapi Ana tidak ingin egois lagi. Biarkan Ana membantu mama mencari uang, walaupun nanti hasilnya tidak seberapa apalagi hanya dengan berbekal ijasah SMA.” Ujar Ana panjang. “Ana rela korbanin cita-cita Ana biar mama tidak terlalu bekerja keras”. Ujar Ana lagi. Lalu tiba-tiba dengan nada kecewa wanita itu berkata, “Kamu pikir dengan kamu memilih berhenti kuliah dan lebih memilih bekerja akan membuat mama bahagia?" Ada jeda dibalik tanya penuh kecewa darinya. “Kamu seharusnya tau Ana, mama selalu percaya dengan setiap keputusan yang kamu ambil, meskipun kadang kamu bersikap egois dengan hal yang berkaitan dengan cita-citamu. Tapi saat itu mama yakin pasti kamu telah memikirkan segala hal tentang nama baik mama dan masa depan kita bersama. Lalu mengapa kali ini keputusanmu membuat mama begitu kecewa?" Ana hanya bisa diam menahan tangis setelah mendengar kalimat panjang dari mamanya. “Lalu mengapa saat ini mama tidak mempercayaiku? Aku hanya tidak ingin mama bekerja terlalu keras." Ujar Ana dengan nada sendu. Sebelum Ana hendak melanjutkan kalimatnya, wanita itu langsung menyela. “Mama sudah menaruh harapan yang besar kepada mu lalu kamu mau menghancurkan harapan itu? Dengar kata-kata mama Ana, kamu tau karena orang seperti mama yang berpendidikan rendah ini sering dianggap bodoh. Dan karena itu juga mama pernah di bodohi dan dituduh sebagai pencuri. Kamu ingat itu Ana, kejadian setahun lalu ketika mama dituduh mencuri oleh kerabat terdekat mama sendiri?" Ana tahu kejadian setahun lalu itu membuat mamanya merasa sangat terluka, mamanya merasa harga dirinya seakan diinjak-injak. Sejak saat itu waktu tidur mamanya  mulai berkurang. Rasanya setiap  memejamkan mata hanya ada bayang-bayang mimpi buruk yang menghantuinya. 


Ana merasa tertampar oleh kata-kata mamanya. Ana sadar bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki harapan. Mamanya pun punya mimpi untuknya. Ana bangga pada mamanya meskipun hanya berpendidikan rendah bahkan ijasah  SD saja tak punya tapi mamanya bisa berpikir luar biasa seperti itu. Bahkan untuk membiayai pendidikannya, mamanya hanya bermodal pengalaman menenun yang  ditekuni sejak berusia remaja. Setelah mendengar semua jeritan hati mama yang rela mengisi malam-malamnya hanya dengan bekerja, Ana kembali tersadar dan mulai detik itu juga ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan bahwa di dalam dirinya  mengalir darah mamanya yang mengajarkan untuk menjadi orang yang selalu jujur dan selalu bekerja keras untuk meraih cita-cita. Ia akan berusaha meraih harapan yang mamanya tanamkan dalam dirinya sehingga tak ada lagi mimpi buruk yang menghantui mamanya setiap malam. Bahkan nantinya tidak ada lagi tatapan remeh dari orang yang sering meremehkan keluarganya.

***

_________________________________________________________________

Evaldiana Adelia, lahir di Lela 6 Mei 2000. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Akuntansi di Universitas Nusa Nipa Maumere.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar